Senin, 22 September 2008

Handphone di Bulan Puasa

Ini hari, kelam berlari. Pagar lapang tanpa kata kunci. Sms berlalu tanpa sangsi. Tak ada kerja yang memberat hati:

Memaki layar yang polos. dan volume yang boros. Merekam desah gelisah kamar mandi. Atau mengintip di sebalik rok mini. Dengan tubuh geletar, keringat yang deras.

Ini hari, perubahan berdentam. Gambar-gambar biru tenggelam di balik surau malam. Hentakan musik cadas lebam oleh tadarrus puisi yang bening. Di kotak surat, tak ada babi atau anjing. Berganti merpati dengan sayap-sayap mengembang. Teduh yang rindang.

Ini hari, komitmen bicara. Kotak draf menagih rencana-rencana. Janji yang belum merupa. Kata-kata yang belum puisi. Dan halaman baru yang belum terukir. Dengan tombol-tombol lincah. Dari hati merah jambu. Yang terlahir kembali. (19 Sept 2008)

Kamis, 18 September 2008

Kabar dari Handphone

Handphone-ku senyam-senyum menerima sebuah sms. Layarnya seketika bersorai. Ia membacanya dengan mata sumringah. Ada surga di Pasuruan. Begitu awal sms itu. Lalu kaki-kaki bertelanjang dada. Yang lama mendamba wangi sepatu. Menyemut dari seluruh penjuru. Seperti yang pernah didengarnya: di surga tak ada luka kaki. Mereka datang ingin memetik doa yang selama ini mereka tanam. Tapi pintu ternyata tak selebar dikira. Dan demi wangi sepatu, mereka lupa pada tanah. Mereka mencium kepala.

Begitulah handphone mengabari aku. Ia melihat aku di antara kerumunan itu. Di antara duapuluhsatu nyawa yang ikhlas tak menyentuh surga. Ia heran bagaimana dan untuk apa aku hadir di sana. Maka aku menjawabnya: Aku berangkat bersama mereka. Mereka semua tahu. Aku ada di dalam diri mereka. Di darah di kulit di tulang di hati mereka. Aku perlu sepatu. Agar bisa leluasa bergerak dari kaki ke kaki. Melaksanakan tugas abadi. Mengarahkan mereka ke jalan yang sesat. Sebagaimana kakek mereka memisahkan aku dengan Tuhan. (18 Sept 2008)

Rabu, 17 September 2008

Di Handphoneku Tak Ada Pagar

Di handphoneku tak ada pagar. Kau bebas masuk sesuka hatimu. Tapi hati-hatilah melangkah. Jangan kesandung kamera. Pengaman dan penghibur yang mengintai di balik punggung. Seperti kasir yang mencatat jejak para pembeli.

Masuk dan jelajahlah setiap siku sakuku. Niscaya takkan kau temui sebutir pun pasir rahasia. Hanya kabel-kabel kecil. Seperti akar yang berseliweran. Pengalir arus yang membuatnya bertahan hidup. Lihatlah asbak yang geletar di atas meja bisu. Merindu abu rokok yang lama tak hadir. adakah kau punya?

Sambil kau seruput kopi susu dekat kotak surat. Nikmatilah musik yang palsu. Game yang palsu. Juga gambar biru berwarna terung. Teruslah menjelajah hingga bosan mengusirmu. Atau kekasih memanggilmu. Tapi jangan tinggalkan puisi yang terkancing. Aku tak tahu bagaimana membacanya. (17 Sept 2008)


Dalam Handphone, Ia Bertemu Tuhan

Tuan Penyair meminta Tuhan menelponnya. Tuhan menjawab: Bagaimana Aku menelponmu. Sedang nomormu sudah expired. Ia baru tersadar. Sebulan ini tak ada yang menelponnya. Ia juga tak menghubungi sesiapa. Ia takut pulsanya cepat habis di siang hari. Ia tunggu sampai larut malam. Sambil browsing dan minum kopi. Agar bisa chatting sepuas-puasnya. Tapi menjelang waktu gratis itu, matanya tak bisa lagi kompromi. Ia rebah ke dalam mimpi. Ia bertemu Tuhan dan bertanya.

Tuhan mengapa Kau tak pernah menelponku. Aku rindu suara-Mu. Aku kangen rayuan-Mu. Tuhan menjawab: Bangunlah. Basuhlah matamu. Aku selalu menelponmu. Tapi handphonemu terlalu sibuk dengan game dan audio-visual biru. Dan kau tak pernah memasang anti virus. Virus yang menghalangi panggilan-Ku. Bangunlah. Aku sekarang di depanmu. Kita chatting saja. Maukah kau meluangkan sedikit waktumu? (17 Sep 2008)